Rabu, 1 Ogos 2012

Take Care Elderly and Child

Oleh : Deva del Amor


 Pagi ini mentari sangat cerah menyinari bumi . Warna merah  keemasan  memancar setiap sudut  tembok-tembok gedung yang megah.  Angin yang sedari kemarin  meliuk-liuk dengan kencang  menyibak setiap rimbunan dedaunan ,masih sama , menari indah menyapa setiap kulit-kulit yang menghampirinya.


Jalan di depan apartemen sudah legang ,saat kebanyakan dari mereka telah bergegas  ke seluruh penjuru-penjuru kota. Di ujung jalan, sepasang anak muda bergandengan, bercanda gurau di antara selang-selang  para penyebrang jalan termasuk aku. Lampu penyebrangan jalan berganti merah saat  ujung kaki tepat di persimpangan.   Kupacu langkahku semakin cepat, karena sang waktu memburuku untuk segera sampai di apartemen  ibu dari  bosku laki.


Sesampainya di depan pintu,  ku arahkan tanganku untuk menekan tombol bell yang bertengger di samping pintu masuk, lalu sejurus kemudian, suara  berat menghampiri diiringi pintu yang mulai terbuka.

"lei la!" Keluar suara dari dalam.

" Co san , Ma Ma!" Ucapku.

Lalu, ia persilahkan aku masuk sebentar ke dalam ruangan apartemennya , sambil menunggu , kujulurkan kepalaku ke ruang tamu. Orangtua  renta, sama  seusia nenek y dan bapak dari bos-ku laki-laang tak lain adalah suami nenek , bapak dari bosku ada disana.

 " Co san , Ye Ye!" Ucapku kearahnya.

 Setelah semua dirasa cukup lengkap, diantaranya barang-barang bawaan , aku mengiringi langkah  nenek pergi meninggalkan apartemen.

 Kami pun masuh ke dalam kereta bawah tanah, untuk menuju tempat yang dia ceritakan kemarin. Fook Mei Temple. Dalam  waktu kurang lebih 2 menit kereta sampai, dan pintunya pun terbuka secara otomatis. Kami berdua masuk. Sambil menggandeng tangan kiri nenek, kusapu mataku ke seluruh  isi ruangan untuk mencari kursi kosong, namun tak satu kursi pun  kosong yang tersedia. Tiba-tiba dari ujung kursi disampingku, ada seorang perempuan setengah baya , kira-kira berumur 50 tahunan memanggilku.

" Kolea" Sambil tangannya melambai menadakan sesuatu. Aku pun  memberi  tahu nenek untuk  melangkah ke tempat  perempuan itu berada.

" Ma Ma, yau wai lah ." Ajakku memberi tahu.

 Sesampainya di depan kursi itu, perempuan setengah baya  berdiri dan mempersilahkan nenek untuk duduk  di kursi tempat dia berada sebelumnya.

" Pe le, jo a !" Ucap perempuan setengah baya itu sambil melangkah pergi. Dengan anggukan  terima kasih, aku  arahkan ke dia sebagai rasa hormat, dan mempersilahkan nenek duduk  di tempat itu.

                                                                            -=0=-

 Fook Mei Temple


 Perjalanan yang  memakan  waktu hanya 10 menit itu, membawa kami berdua sampai di depan pintu Fook Mei Temple. Setelah menekan  tombol bel masuk ke lobi, kami berdua pun  langsung  menuju lift dan  naik ke lantai 1 gedung .

Depan pintu ruangan kuil, terdapat kotak bundar tidak terlalu besar, tapi  seukuran tempat sampah yang besar, dan di atasnya terdapat dupa panjang yang mengepul, dan di bagian bawah ada beberapa piring buah.

Nenek meletakkan 3 bungkus  roti kering di samping  piring buah. Lalu dia pun  melangkahkan kakinya masuk ke ruangan kuil.

 Beberapa perempuan menggumpul  bersujud di tanah depan  patung  yang terletak di meja besar , di depan patung itu  tersedia bunga lebih dari satu pot , dan beraneka macam  buah  serta beberapa kantong  yang berisi buah dan kertas  yang dibawa oleh orang-orang yang mau  melaksanakan sembayang di kuil.

 Nenek meletakkan bungkusan buah yang berasal dari tasku, lalu ia  mengeluarkan  kertas yang dibawanya dari rumah. Setelah  kertas itu ditanda tangani oleh Bitsu  perempuan  dan telah berbentuk lipatan, nenek membawanya untuk diperlihatkan ke Bitsu lelaki yang  ada di samping  pot-pot  yang berisi kembang yang juga  menjadi bahan persembahyangan. Dan Bitsu lelaki itu  mengatakan jumlah uang yang harus dibayar sebelum nenek melaksanakan sembahyangnya.

18 Dollar, nenek  bayarkan , ketika uang 2 Dollar sisanya nampak ia masukkan kedalam kotak lain disamping Bitsu tersebut. Dan nenek pun mengambil  dupa panjang yang tersedia di atas kotak. Lalu tangannya mulai  membawa dupa yang sudah mengepul berjumlah dua buah. Ia  pun kembali berjalan menuju patung besar yang  ia sebutkan sebagai  dewa penyelamat . Meletakkan  dupa di depan kening selama  beberapa saat lalu memindahkan ke dada dan kembali ke kening tiga kali. Gerakan  itu dia lakukan sebelum meletakkan  dupa di depan patung besar itu kembali. Sedangkan  satu dupa yang masih berada di tangannya, ia pegang sambil sesekali berkomat-kamit, nenek berjalan menuju  depan jendela yang terdapat beberapa pot bunga yang berbentuk indah dan berwarna merah muda. Pot bunga itu berjejer samping kiri dan kanan , di tengahnya terdapat arca yang berbentuk perempuan, yang dinamainya sebagai dewi pencerah.

 Berdiri bersujud selama beberapa kali, nenek  berjalan kembali mengmbil kertas yang sudah tertanda tangani dan di hiasi dengan warna  sertal dilampiri dengan kertas kuning lain diluarnya, lalu dibawa lagi menuju Bitsu yang  menerima uang tadi. Selanjutnya  ia berjalan mengambil tas kecil yang diletakkan disampingnya , dan membuka kantong tas, lalu mengeluarkan isi dompet yang berukuran kecil berwarna merah sejumlah dua buah. Setelah itu ia berjalan menuju dua kotak , ia pun melangkahkan  kakinya untuk mengajakaku  berkemas. Oh ya dua kotak itu mungkin disebut sebagai  'kotak amal'.


 seuasai pelaksanaan  sembayang, nenek mengambil kembali buah-buah yang tadi diletakkan di meja di depan arca, dan memasukkan lagi ke kantong yang  ada di tanganku. Dan kami berdua pun melangkah pergi meninggalkan  kuil itu.

                                                                           -=0=-

 Jalan raya sudah nampak rame , di pertengahan siang. Setengah hari hampir terlalui. Kota North Point yang selalu riuh , menampakkan khasnya dengan banyaknya orang-orang berlalu lalang. Aku dan nenek berjalan menyusuri   jalan raya. Sambil sesekali  ku keluarkan  tanya dan gurau untuk menghibur  nenek agar tidak merasa jenuh.  Kami berdua pun sampai di persimpangan jalan menuju pasar terkenal di wilayah kota itu.

" Ngodei  hoi jiu gap si jiong ! Mai sangko, jimpin yau Waihong."
" Hou, Ma Ma." Jawabku.

Welcome sepi, tidak banyak pengunjung di pertengahan hari itu. Nenek langusng berjalan menuju  tempat di mana tersedia buah-buahan yang dicarinya.  Jeruk Bali yang berukuran besar menjadi ketertarikannya, hingga dia pun  terpesona untuk membeli dua buah. Lalu,  nenek masih kelihatan kurang puas saat ia kembali melihat buah  lain . Jeruk  yang bercap ' sunkist' menjadi incaran yang kedua setelaj jeruk bali. Ia ingin juga membelinya. Sambil menimang-nimang buah, nampak keraguan akan keputusan dirinya sendiri memilih buat yang ada di tangannya. Lalu, ia pun bertanya kepadaku.

" Lei kotak pinti , houti a?"
" Litoa , Ma Ma, lei yau pin sau." Balasku.
" Hou, ngodhei mai litoa, son sai lei la.Ucapnya menyetujui.

 Kami berdua menuju kasir yang telah ada di sana. Lalu, seorang kasir muda,  mengecek barang belanjaan dan  memberi tahu berapa jumlah  yang  harus kami berdua bayar. Lalu kami pun melangkah pergi meninggalkan  pusat perbelanjaan.

                                                                 =0=-

Hung Din Temple


Bus kota berlalu lalang  mengejar  hari dan mencari para penumpang. Asap putih yang  mengiringi laju kendaraan semakin menggumpal diselingi asap rokok yang dihembuskan oleh mereka yang menikmati jalan raya dengan batang-batangnya.

Tangan sebelah kiriku  terasa berat, akibat beberapa buah  yang  ada di dalam kantong besar. Nenek masih mengandeng tangan kananku,  dengan derap kaki yang lamban , ia memberi tahu arah jalan yang  harus kami berdua lalui.

" Ngodhei hoi pintoa , Ma Ma?" tanyaku.
"  Ngodhei hoi tuimin ko to, yau tai ha, kiu Hung Din. Ko to leh yau yatko te fong, ngodhei yiu hoi." Jawab nenek lirih.

 Tulisan besar terpampang di depan gedung, nenek mengajak aku masuk ke dalam melalui pintu menuju lift. lantai 14 itu yang dia tunjukkan saat kami berada di dalam lift.

Sesampai di lantai 14, pintu ruangan yang  kami tuju nampak tertutup di bagian luarnya saja. Sunyi  terlihat senyap. Nenek menekan tombol bel yang berada di pintu, dan seorang perempuan tua sebayanya keluar menyambutnya dengan bahasa Hokien yang aku sendiri tidak mengerti apa yang meraka bicarakan.

 Pintu terbuka kami berdua  dipersilahkan masuk. Sesampainya di ruang persembayangan, aku dikejutkan oleh suasananya. Sunyi , hening, dan nyaman. Selain bersih, kuil itu tertata dengan rapi. Ada dua orang perempuan tua penunggunya. Mungkin  seseorang yang menjadi penangung jawab di tempat itu, atau mungkin Bitsu dari tempat itu. Aku letakkan buah di atas kursi  yang telah tersedia, lalu nenek, membuka ulang buah yang ada di tas yang aku bawa tadi. Dia mengeluarkan  jeruk yang telah dibelinya. Setelah dupa ia  nyalakan, ia pun berjalan mengitari tempat di mana arca-arca itu di letakkan.

 Aku masih duduk diam mengamati gerak-geri nenek , menyaksikan bagaimana dia  melangsungkan upacara persembahyangan.  Tiba-tiba, terbesit pikiranku untuk mengambil gambar dan menjadikan dokumentasi tulisan  saat dia sedang melaksanakan  sembahyangan.

 Meminta Persetujuan Mengambil Gambar


 Dengan bekal nekad, aku beranikan diri untuk bertanya ke perempuan yang sebelumnya membukakan pintu tadi.  Aku atur  intonasi kataku sesopan mungkin agar perempuan itu mengabulkan permintaanku.

" Muisi..., ngo song man, ha mai hoyi  ying song ?" Tanyaku
" Hai, hoyi!" Jawabnya lugas. Ah begitu bahagia saat  perempuan tua itu berkata boleh. Aku tidak  membuang waktu untuk segera menggambil kameraku . Beberapa detik kemudian beberapa gambar telah aku dapatkan di layar   cameraku.

Horeeee!!

Ucapku dalam hati ^__^.
 Nenek  masih di depan  arca yang disembahnya, dia terlihat khusyuk melaksanakan ibadah, setelah  beberapa kali  menyalakan dupa dan meletakkan di tempat yang sesuai dengan keinginannya.
Setelah selesai, kami berdua pun berkemas untuk segera pergi dari kuil itu, kali ini kami berdua mengakhiri perjalanan dengan pulang ke rumah.

" Ngodhei tap pasi, homa?" tanya nenek kepadaku.
" Hou, sitan lei Mama." Jawabku sambil mengikuti langkahnya menuju stasiun bus yang berada  tepat di depan gedung kuil.

Bus Nomer 99

Jalan raya semakin ramai, bus yang kami berdua tunggu  selang beberapa menit telah berada di depan satsiun dimana  kami berada. Aku dan nenek langsung  melambaikan tangan saat bus nomer 99  datang. Lalu, kami berdua pun masuk dan menempelkan sebuah kartu sebagai tanda untuk pembayaran.  Aku berjalan di belakang nenek, bus masih  berhenti saat langkah kami berdua menapaki  lantai  bus menuju kursi yang tersedia. Di beberapa kursi ada orang yang telah  ada di sana , sebelumnya. Di pinggir para penumpang yang  memenuhi kursi dalam bus itu, ada beberapa kursi yang kosong yang hanya berjumlah satu buah di bagian pingir-pinggirnya saja . dan nenek masih berjalan  dengan  tangan tertatih menuju kursi dua kosong yang berdampingan. Mungkin dalam hatinya , nenek ingin duduk bersama denganku tidak jauh-jauh. Tapi belum sampai tangan dia menyentuh kursi itu, bus sudah dinyalakan oleh sopirnya  tanpa melihat penumpang telah duduk atau masih berdiri. Sopir bus ternyata tidak peduli melihat nenek  yang menjadi penumpangnya saat nenek masuk ke bus. Saat bus melaju , tangan nenek tidak sampai pada  gagang kursi yang dia ingin raih . Lalu.....

" Brang !!! ahhhhhhh!!

" Ma... Ma!!!!, ucapku lemas, melihat tubuhnya terhempas dengan cepat jatuh kelantai bus, diiringi dengan suara benturan  kepala dan tangannya di  ujung-ujung kursi. Dan suara gemericik  gelang  giok kecilnya yang   runtuh jatuh satu persatu menyebar keseluruh lantai. Aku duduk lemas  menghampiri nenek,  di dalam benak pikiranku , hanya rasa takut. Sambil membopong ia bangun kembali,  sedang orang-orang di sekitar kami berdua  hanya  melongo  menyaksikan . Bahkan, sopir yang membawa bus  hanya menghentikan busnya lalu berjalan ke arah kami sambil bertanya, " Lei yau mo si a ? sai emsai hoi yiyun?"

Mama tertatih berjalan  dengan bantuan tanganku, tubuhku masih bergetar ketakutan  dengan jantung yang masih berdegup dengan kencang. Ketakutan masih meyelimuti di dalam pikiranku. Nenek  kembali mengulaskan senyum , ia berucap " Emsai keng, ngo mou si a, peko  yat ko sau , sun, siu lau hik. Yat cengkan lei emsai dong goi kong, ci emcia? ngo emsong peyan lau." tuturnya memberi peringatan padaku. Aku masih diam, lalu aku  mengangukkan kepala, " hou Mama, peko lei hamai canhai mou si a?"


 Selama  di perjalanan pulang, pikiranku masih kalut antara ketakutan dan sedih,  mengapa semuanya terjadi hari ini. Berbagai pertanyaan kenapa  orang tak mau mengerti situasi orangtua , bahkan kebayakan dari mereka tidak peduli dengan mereka orang-orang yang telah usia lanjut, kala mereka menumpang kendaraan pun harus buru-buru. Padahal pekerjaan itu sulit mungkin  bisa dilakukan oleh para orangtua lanjut usia, dan bila tidak hati-hati dengan kekuatan sedikit , ia akan terjatuh atau bahkan bisa terluka hanya gara-gara menumpang kendaraan umum.

                                                                 -=0=-

Sesampainya di apartemen , hatiku masih kalut, rasa tidak bahagia menyelimuti pikiran-pikiranku. Terbesit sesuatu di luar kepalaku dengan   andai. Bila terjadi apa-apa pasti aku yang pertama kali akan disalahkan oleh mereka. Andai majikanku lelaki itu pulang dan tau ibunya terjatuh bersamaku betapa ia dan saudara-saudaranya merasa tidak bahagia.  Semalaman  rasa tidak nyaman itu mengikuti dibarengi dengan bayang-bayang berita masa silam, saat seorang anak kecil tergilis roda bus saat ia akan naik ke dalamnya. Saat sang sopir tak  mau menunggu sabar menyalakan   bus dengan kencang, lalu    sal yang ada dileher anak kecil itu tersambar oleh  roda  bus , dan membawa seluruh tubuh anak itu masuk ke bawah roda hingga anak kecil itu  tergilis  sampai meninggal. Astagfirullah!

 **Pembaca cerita di atas cerita nyata, bila kalian sebagai seorang pengasuh anak atau perawat orangtua, hati-hati membawa mereka ,  karena, kita tidak tau bencana kadang datang secara tiba-tiba. Semoga cerita di atas menjadi peringatan untuk kita lebih hati-hati, dan selalu waspada. Jaman sekarang  mencari orang yang baik dan sabar tidak mudah apalagi saat kita membawa orangtua atau anak dibawah umur , kita butuh  mengendarai kendaraan yang save dan nyaman. Pesan saya bila membawa orangtua atau anak, lebih baik naik taxi saja.


 Semoga cerita ini bermanfaat !






















Tiada ulasan:

Catat Ulasan