Oleh : Deva del Amor
Pagi ini mentari sangat cerah menyinari bumi . Warna merah keemasan memancar setiap sudut tembok-tembok gedung yang megah. Angin yang sedari kemarin meliuk-liuk dengan kencang menyibak setiap rimbunan dedaunan ,masih sama , menari indah menyapa setiap kulit-kulit yang menghampirinya.
Jalan di depan apartemen sudah legang ,saat kebanyakan dari mereka telah bergegas ke seluruh penjuru-penjuru kota. Di ujung jalan, sepasang anak muda bergandengan, bercanda gurau di antara selang-selang para penyebrang jalan termasuk aku. Lampu penyebrangan jalan berganti merah saat ujung kaki tepat di persimpangan. Kupacu langkahku semakin cepat, karena sang waktu memburuku untuk segera sampai di apartemen ibu dari bosku laki.
Sesampainya di depan pintu, ku arahkan tanganku untuk menekan tombol bell yang bertengger di samping pintu masuk, lalu sejurus kemudian, suara berat menghampiri diiringi pintu yang mulai terbuka.
"lei la!" Keluar suara dari dalam.
" Co san , Ma Ma!" Ucapku.
Lalu, ia persilahkan aku masuk sebentar ke dalam ruangan apartemennya , sambil menunggu , kujulurkan kepalaku ke ruang tamu. Orangtua renta, sama seusia nenek y dan bapak dari bos-ku laki-laang tak lain adalah suami nenek , bapak dari bosku ada disana.
" Co san , Ye Ye!" Ucapku kearahnya.
Setelah semua dirasa cukup lengkap, diantaranya barang-barang bawaan , aku mengiringi langkah nenek pergi meninggalkan apartemen.
Kami pun masuh ke dalam kereta bawah tanah, untuk menuju tempat yang dia ceritakan kemarin. Fook Mei Temple. Dalam waktu kurang lebih 2 menit kereta sampai, dan pintunya pun terbuka secara otomatis. Kami berdua masuk. Sambil menggandeng tangan kiri nenek, kusapu mataku ke seluruh isi ruangan untuk mencari kursi kosong, namun tak satu kursi pun kosong yang tersedia. Tiba-tiba dari ujung kursi disampingku, ada seorang perempuan setengah baya , kira-kira berumur 50 tahunan memanggilku.
" Kolea" Sambil tangannya melambai menadakan sesuatu. Aku pun memberi tahu nenek untuk melangkah ke tempat perempuan itu berada.
" Ma Ma, yau wai lah ." Ajakku memberi tahu.
Sesampainya di depan kursi itu, perempuan setengah baya berdiri dan mempersilahkan nenek untuk duduk di kursi tempat dia berada sebelumnya.
" Pe le, jo a !" Ucap perempuan setengah baya itu sambil melangkah pergi. Dengan anggukan terima kasih, aku arahkan ke dia sebagai rasa hormat, dan mempersilahkan nenek duduk di tempat itu.
-=0=-
Fook Mei Temple
Perjalanan yang memakan waktu hanya 10 menit itu, membawa kami berdua sampai di depan pintu Fook Mei Temple. Setelah menekan tombol bel masuk ke lobi, kami berdua pun langsung menuju lift dan naik ke lantai 1 gedung .
Depan pintu ruangan kuil, terdapat kotak bundar tidak terlalu besar, tapi seukuran tempat sampah yang besar, dan di atasnya terdapat dupa panjang yang mengepul, dan di bagian bawah ada beberapa piring buah.
Nenek meletakkan 3 bungkus roti kering di samping piring buah. Lalu dia pun melangkahkan kakinya masuk ke ruangan kuil.
Beberapa perempuan menggumpul bersujud di tanah depan patung yang terletak di meja besar , di depan patung itu tersedia bunga lebih dari satu pot , dan beraneka macam buah serta beberapa kantong yang berisi buah dan kertas yang dibawa oleh orang-orang yang mau melaksanakan sembayang di kuil.
Nenek meletakkan bungkusan buah yang berasal dari tasku, lalu ia mengeluarkan kertas yang dibawanya dari rumah. Setelah kertas itu ditanda tangani oleh Bitsu perempuan dan telah berbentuk lipatan, nenek membawanya untuk diperlihatkan ke Bitsu lelaki yang ada di samping pot-pot yang berisi kembang yang juga menjadi bahan persembahyangan. Dan Bitsu lelaki itu mengatakan jumlah uang yang harus dibayar sebelum nenek melaksanakan sembahyangnya.
18 Dollar, nenek bayarkan , ketika uang 2 Dollar sisanya nampak ia masukkan kedalam kotak lain disamping Bitsu tersebut. Dan nenek pun mengambil dupa panjang yang tersedia di atas kotak. Lalu tangannya mulai membawa dupa yang sudah mengepul berjumlah dua buah. Ia pun kembali berjalan menuju patung besar yang ia sebutkan sebagai dewa penyelamat . Meletakkan dupa di depan kening selama beberapa saat lalu memindahkan ke dada dan kembali ke kening tiga kali. Gerakan itu dia lakukan sebelum meletakkan dupa di depan patung besar itu kembali. Sedangkan satu dupa yang masih berada di tangannya, ia pegang sambil sesekali berkomat-kamit, nenek berjalan menuju depan jendela yang terdapat beberapa pot bunga yang berbentuk indah dan berwarna merah muda. Pot bunga itu berjejer samping kiri dan kanan , di tengahnya terdapat arca yang berbentuk perempuan, yang dinamainya sebagai dewi pencerah.
Berdiri bersujud selama beberapa kali, nenek berjalan kembali mengmbil kertas yang sudah tertanda tangani dan di hiasi dengan warna sertal dilampiri dengan kertas kuning lain diluarnya, lalu dibawa lagi menuju Bitsu yang menerima uang tadi. Selanjutnya ia berjalan mengambil tas kecil yang diletakkan disampingnya , dan membuka kantong tas, lalu mengeluarkan isi dompet yang berukuran kecil berwarna merah sejumlah dua buah. Setelah itu ia berjalan menuju dua kotak , ia pun melangkahkan kakinya untuk mengajakaku berkemas. Oh ya dua kotak itu mungkin disebut sebagai '
kotak amal'.
seuasai pelaksanaan sembayang, nenek mengambil kembali buah-buah yang tadi diletakkan di meja di depan arca, dan memasukkan lagi ke kantong yang ada di tanganku. Dan kami berdua pun melangkah pergi meninggalkan kuil itu.
-=0=-
Jalan raya sudah nampak rame , di pertengahan siang. Setengah hari hampir terlalui. Kota North Point yang selalu riuh , menampakkan khasnya dengan banyaknya orang-orang berlalu lalang. Aku dan nenek berjalan menyusuri jalan raya. Sambil sesekali ku keluarkan tanya dan gurau untuk menghibur nenek agar tidak merasa jenuh. Kami berdua pun sampai di persimpangan jalan menuju pasar terkenal di wilayah kota itu.
" Ngodei hoi jiu gap si jiong ! Mai sangko, jimpin yau Waihong."
" Hou, Ma Ma." Jawabku.
Welcome sepi, tidak banyak pengunjung di pertengahan hari itu. Nenek langusng berjalan menuju tempat di mana tersedia buah-buahan yang dicarinya. Jeruk Bali yang berukuran besar menjadi ketertarikannya, hingga dia pun terpesona untuk membeli dua buah. Lalu, nenek masih kelihatan kurang puas saat ia kembali melihat buah lain . Jeruk yang bercap '
sunkist' menjadi incaran yang kedua setelaj jeruk bali. Ia ingin juga membelinya. Sambil menimang-nimang buah, nampak keraguan akan keputusan dirinya sendiri memilih buat yang ada di tangannya. Lalu, ia pun bertanya kepadaku.
" Lei kotak pinti , houti a?"
" Litoa , Ma Ma, lei yau pin sau." Balasku.
" Hou, ngodhei mai litoa, son sai lei la.Ucapnya menyetujui.
Kami berdua menuju kasir yang telah ada di sana. Lalu, seorang kasir muda, mengecek barang belanjaan dan memberi tahu berapa jumlah yang harus kami berdua bayar. Lalu kami pun melangkah pergi meninggalkan pusat perbelanjaan.
=0=-
Hung Din Temple
Bus kota berlalu lalang mengejar hari dan mencari para penumpang. Asap putih yang mengiringi laju kendaraan semakin menggumpal diselingi asap rokok yang dihembuskan oleh mereka yang menikmati jalan raya dengan batang-batangnya.
Tangan sebelah kiriku terasa berat, akibat beberapa buah yang ada di dalam kantong besar. Nenek masih mengandeng tangan kananku, dengan derap kaki yang lamban , ia memberi tahu arah jalan yang harus kami berdua lalui.
" Ngodhei hoi pintoa , Ma Ma?" tanyaku.
" Ngodhei hoi tuimin ko to, yau tai ha, kiu Hung Din. Ko to leh yau yatko te fong, ngodhei yiu hoi." Jawab nenek lirih.
Tulisan besar terpampang di depan gedung, nenek mengajak aku masuk ke dalam melalui pintu menuju lift. lantai 14 itu yang dia tunjukkan saat kami berada di dalam lift.
Sesampai di lantai 14, pintu ruangan yang kami tuju nampak tertutup di bagian luarnya saja. Sunyi terlihat senyap. Nenek menekan tombol bel yang berada di pintu, dan seorang perempuan tua sebayanya keluar menyambutnya dengan bahasa
Hokien yang aku sendiri tidak mengerti apa yang meraka bicarakan.
Pintu terbuka kami berdua dipersilahkan masuk. Sesampainya di ruang persembayangan, aku dikejutkan oleh suasananya. Sunyi , hening, dan nyaman. Selain bersih, kuil itu tertata dengan rapi. Ada dua orang perempuan tua penunggunya. Mungkin seseorang yang menjadi penangung jawab di tempat itu, atau mungkin Bitsu dari tempat itu. Aku letakkan buah di atas kursi yang telah tersedia, lalu nenek, membuka ulang buah yang ada di tas yang aku bawa tadi. Dia mengeluarkan jeruk yang telah dibelinya. Setelah dupa ia nyalakan, ia pun berjalan mengitari tempat di mana arca-arca itu di letakkan.
Aku masih duduk diam mengamati gerak-geri nenek , menyaksikan bagaimana dia melangsungkan upacara persembahyangan. Tiba-tiba, terbesit pikiranku untuk mengambil gambar dan menjadikan dokumentasi tulisan saat dia sedang melaksanakan sembahyangan.
Meminta Persetujuan Mengambil Gambar
Dengan bekal nekad, aku beranikan diri untuk bertanya ke perempuan yang sebelumnya membukakan pintu tadi. Aku atur intonasi kataku sesopan mungkin agar perempuan itu mengabulkan permintaanku.
" Muisi..., ngo song man, ha mai hoyi ying song ?" Tanyaku
" Hai, hoyi!" Jawabnya lugas. Ah begitu bahagia saat perempuan tua itu berkata boleh. Aku tidak membuang waktu untuk segera menggambil kameraku . Beberapa detik kemudian beberapa gambar telah aku dapatkan di layar cameraku.
Horeeee!!
Ucapku dalam hati ^__^.
Nenek masih di depan arca yang disembahnya, dia terlihat khusyuk melaksanakan ibadah, setelah beberapa kali menyalakan dupa dan meletakkan di tempat yang sesuai dengan keinginannya.
Setelah selesai, kami berdua pun berkemas untuk segera pergi dari kuil itu, kali ini kami berdua mengakhiri perjalanan dengan pulang ke rumah.
" Ngodhei tap pasi, homa?" tanya nenek kepadaku.
" Hou, sitan lei Mama." Jawabku sambil mengikuti langkahnya menuju stasiun bus yang berada tepat di depan gedung kuil.
Bus Nomer 99
Jalan raya semakin ramai, bus yang kami berdua tunggu selang beberapa menit telah berada di depan satsiun dimana kami berada. Aku dan nenek langsung melambaikan tangan saat bus nomer 99 datang. Lalu, kami berdua pun masuk dan menempelkan sebuah kartu sebagai tanda untuk pembayaran. Aku berjalan di belakang nenek, bus masih berhenti saat langkah kami berdua menapaki lantai bus menuju kursi yang tersedia. Di beberapa kursi ada orang yang telah ada di sana , sebelumnya. Di pinggir para penumpang yang memenuhi kursi dalam bus itu, ada beberapa kursi yang kosong yang hanya berjumlah satu buah di bagian pingir-pinggirnya saja . dan nenek masih berjalan dengan tangan tertatih menuju kursi dua kosong yang berdampingan. Mungkin dalam hatinya , nenek ingin duduk bersama denganku tidak jauh-jauh. Tapi belum sampai tangan dia menyentuh kursi itu, bus sudah dinyalakan oleh sopirnya tanpa melihat penumpang telah duduk atau masih berdiri. Sopir bus ternyata tidak peduli melihat nenek yang menjadi penumpangnya saat nenek masuk ke bus. Saat bus melaju , tangan nenek tidak sampai pada gagang kursi yang dia ingin raih . Lalu.....
" Brang !!! ahhhhhhh!!
" Ma... Ma!!!!, ucapku lemas, melihat tubuhnya terhempas dengan cepat jatuh kelantai bus, diiringi dengan suara benturan kepala dan tangannya di ujung-ujung kursi. Dan suara gemericik gelang giok kecilnya yang runtuh jatuh satu persatu menyebar keseluruh lantai. Aku duduk lemas menghampiri nenek, di dalam benak pikiranku , hanya rasa takut. Sambil membopong ia bangun kembali, sedang orang-orang di sekitar kami berdua hanya melongo menyaksikan . Bahkan, sopir yang membawa bus hanya menghentikan busnya lalu berjalan ke arah kami sambil bertanya, " Lei yau mo si a ? sai emsai hoi yiyun?"
Mama tertatih berjalan dengan bantuan tanganku, tubuhku masih bergetar ketakutan dengan jantung yang masih berdegup dengan kencang. Ketakutan masih meyelimuti di dalam pikiranku. Nenek kembali mengulaskan senyum , ia berucap " Emsai keng, ngo mou si a, peko yat ko sau , sun, siu lau hik. Yat cengkan lei emsai dong goi kong, ci emcia? ngo emsong peyan lau." tuturnya memberi peringatan padaku. Aku masih diam, lalu aku mengangukkan kepala, " hou Mama, peko lei hamai canhai mou si a?"
Selama di perjalanan pulang, pikiranku masih kalut antara ketakutan dan sedih, mengapa semuanya terjadi hari ini. Berbagai pertanyaan kenapa orang tak mau mengerti situasi orangtua , bahkan kebayakan dari mereka tidak peduli dengan mereka orang-orang yang telah usia lanjut, kala mereka menumpang kendaraan pun harus buru-buru. Padahal pekerjaan itu sulit mungkin bisa dilakukan oleh para orangtua lanjut usia, dan bila tidak hati-hati dengan kekuatan sedikit , ia akan terjatuh atau bahkan bisa terluka hanya gara-gara menumpang kendaraan umum.
-=0=-
Sesampainya di apartemen , hatiku masih kalut, rasa tidak bahagia menyelimuti pikiran-pikiranku. Terbesit sesuatu di luar kepalaku dengan andai. Bila terjadi apa-apa pasti aku yang pertama kali akan disalahkan oleh mereka. Andai majikanku lelaki itu pulang dan tau ibunya terjatuh bersamaku betapa ia dan saudara-saudaranya merasa tidak bahagia. Semalaman rasa tidak nyaman itu mengikuti dibarengi dengan bayang-bayang berita masa silam, saat seorang anak kecil tergilis roda bus saat ia akan naik ke dalamnya. Saat sang sopir tak mau menunggu sabar menyalakan bus dengan kencang, lalu sal yang ada dileher anak kecil itu tersambar oleh roda bus , dan membawa seluruh tubuh anak itu masuk ke bawah roda hingga anak kecil itu tergilis sampai meninggal. Astagfirullah!
**Pembaca cerita di atas cerita nyata, bila kalian sebagai seorang pengasuh anak atau perawat orangtua, hati-hati membawa mereka , karena, kita tidak tau bencana kadang datang secara tiba-tiba. Semoga cerita di atas menjadi peringatan untuk kita lebih hati-hati, dan selalu waspada. Jaman sekarang mencari orang yang baik dan sabar tidak mudah apalagi saat kita membawa orangtua atau anak dibawah umur , kita butuh mengendarai kendaraan yang save dan nyaman. Pesan saya bila membawa orangtua atau anak, lebih baik naik taxi saja.
Semoga cerita ini bermanfaat !